Tajuk

Lokal

Islam

Barat

Timur

Sejarah

Selasa, 10 Februari 2015

Sejarah Perang Padri dan Tuanku Imam Bonjol

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik & Haji Piobang yg ingin memperbaiki syariat Islam yg belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yg tergabung dlm Harimau Nan Salapan. Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yg bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dlm Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung & pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir & melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yg pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yg sudah terbakar. Perang Padri ialah peperangan yg berlangsung di Sumatera Barat & sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 sampai 1838.

Perang ini merupaken peperangan yg pada awalnya akibat pertentangan dlm masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yg dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yg marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yg disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung & sekitarnya. Kebiasaan yg dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, & juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yg padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yg melibatkan sesama Minang & Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yg mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda & bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda. Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yg cukup panjang, menguras harta & mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya & memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.

Bantuan Belanda Kepada Kaum Adat Pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar

Karena terdesak dlm peperangan & keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yg tak pasti, maka Kaum Adat yg dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.

Keterlibatan Belanda dlm perang karena diundang oleh kaum Adat, & campur tangan Belanda dlm perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang & Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet & Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yg dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yg telah dikuasai tersebut. Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan & bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dlm pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yg dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat & kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 sesudah sebelumnya mengalami demam tinggi. Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo & Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro & Kapau, namun karena luka-luka yg dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.

Perdamaian & Perjanjian Masang

Perlawanan yg dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yg waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dlm menghadapi peperangan lain di Eropa & Jawa seperti Perang Diponegoro. Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan & juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yg dikenal dengan nama “Plakat Puncak Pato” di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yg mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yg artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an. (http://www.sejarahnusantara.com/)

Membicarakan Tuanku Imam Bonjol tak bisa dilepaskan dengan pembahasan Perang Padri. Perang Padri terjadi di kawasan Kerajaan Pagaruyung antara tahun 1803 hingga 1838.1 Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan (yang menyalahi aturan Islam) dan umumnya pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.

Perang Padri merupakan peperangan yang meninggalkan kenangan heroik sekaligus usaha penegakkan syariah Islam di Ranah Minang. Pada awalnya, timbulnya peperangan ini didasari oleh adanya keinginan para ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariah Islam sesuai dengan Manhaj Salaf. Kemudian pemimpin para ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Pasaman (Tuanku Lintau) untuk mengajak Raja Pagaruyung, Sultan Muning Alamsyah, beserta Kaum Adat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Seiring itu, di beberapa negeri dalam Kerajaan Pagaruyung muncul gejolak. Puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman (nantinya bergelar Tuanku Lintau) menyerang Kerajaan Pagaruyung, dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Muning Alamsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan.

Suasana peperangan ini selanjutnya diperkeruh oleh campur tangan Belanda. Karena terdesak dalam peperangan, pada 21 Februari 1821 Kaum Adat meminta bantuan Belanda di Padang4, dengan kompensasi penyerahan beberapa wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian ini dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang kemudian diangkat pemerintah Hindia-Belanda sebagai Regent Tanah Datar.

Keterlibatan Belanda dalam perang karena “diundang” oleh Kaum Adat. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.5 Serangan ini berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda membangun benteng di Batusangkar dengan nama Fort van der Capellen. Adapun Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.6 Pada 13 April 1823, Belanda mencoba menyerang Lintau. Namun, Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu, Belanda melalui Residen di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tanggal 15 November 1825.7 Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul Kaum Adat. Akhirnya, muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah (termasuk daerah Kabupaten Tanah Datar sekarang) yang mewujudkan consensus: Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah [al-Quran]).

Dari perjanjian inilah, sejak awal 18338 perang berubah menjadi perang antara Kaum Adat dan Kaum Padri melawan Belanda. Kedua pihak telah bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan gamblang bahwa sejak awal timbulnya Gerakan Padri sampai meletusnya Perang Padri dan tertangkapnya Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri terbesar adalah satu usaha perjuangan politik merebut kekuasaan guna dapat menjalankan syariah Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam Sumatera Barat dengan kaum Padrinya mempunyai tujuan politik yang sama, yaitu berdirinya satu negara yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan kata lain, perjuangan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang satu: berdirinya Negara Islam.9 [Gus Uwik]

Catatan kaki:
1 Jeanne Cuisinier, (1959), Archives de sociologie des religions, chapter: La guerre des Padri (1803-1838-1845), Centre national de la recherche scientifique.
2 a b Sejarah, Yudhistira Ghalia Indonesia, ISBN 978-979-746-801-9.
3 Nain, Sjafnir Aboe, (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM
4 G. Kepper, 1900, Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
5 “Episoden uit geschiedenis der Nederlandsche krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus,” Indisch Magazijn 12/1, no.7, 1844:116.
6 H.M.Lange, 1852, Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845), ‘s Hertogenbosch: Gebroeder Muller,I: 20-1.
7 a b Sejarah, Yudhistira Ghalia Indonesia, ISBN 978-979-746-801-9.
8 Abdullah, Taufik, (1966), Adat dan Islam: an examination of conflict in Minangkabau, Indonesia, No.2, 1-24.
9 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib,Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, Jakarta 1420 H / 1999 M.
Pin It!

Post Comment

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top