“Anda tahu betul begitu juga orang-orang Amerika yang bodoh itu sama-ama mengetahuinya, bahwa kami mengontrol pemerintah mereka, siapapun yang duduk di Gedung Putih. Anda lihat, saya tahu itu dan Anda tahu bahwa tidak ada Presiden Amerika yang sedang berada dalam posisinya bisa menentang kita, bahkan jika kita melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Apa yang bisa mereka (Amerika) lakukan terhadap kita? Tidak ada. Kami mengendalikan Kongres, kami mengontrol media, kita kendalikan show biz, dan kami mengontrol segala sesuatu di Amerika. Di Amerika Anda bisa mengkritik Tuhan, tetapi Anda tidak bisa mengkritik Israel … “
Pada tahun 2009, publik Amerika digemparkan dengan pernyataan Jubir Wanita Israel, Tzipora Menache, tentang bagaimana Israel bisa mengontrol seluruh kehidupan Amerika. Mereka mengontrol ekonomi, budaya, sampai layar kaca.
Siapa yang bisa menghentikan Israel di Amerika? tantang Menache. George Bush, Condolezza, atau Obama? Nothing.
Pernyataan Menache itu kemudian menimbulkan polemik baru. Sebagian rakyat Amerika percaya perkataan Menache hanyalah hoax.
Namun sebagian yang lain berpegang pada pernyataan pendiri sekaligus presiden Amerika, Benyamin Franklin (1705-1790): “Wahai bangsa Amerika, jika kalian tidak menyingkirkan Yahudi, maka anak cucu kita akan menangis di kuburan dan memanggil-manggil nama kita.”
Para presiden Amerika boleh beragama Kristen, tapi mereka harus tunduk di bawah Yahudi dan Israel. Mereka boleh percaya kepada injil, tapi mereka tetap harus dilantik dengan bible masonik. Pertama, George Washington tahun 1789 dan terakhir Obama tahun 2013.
Imbas kepongahan Yahudi di dunia tentu sangat berdampak kepada Islam. Keberanian Israel melancarkan agresi militer di Jalur Gaza tentu tidak datang begitu saja tanpa adanya dukungan politik dari Amerika Serikat.
Jika ramai negara mengecam kebiadaban Israel di jalur Gaza, maka Obama mendukung langkah Netanyahu. “Israel hanya membela diri dari serangan Hamas,” katanya. Sekalipun catatan mengatakan setengah korban kekejaman Israel adalah wanita dan anak-anak.
Walau kondisi keuangan Amerika morat-marit, mereka tetap setia menggelontorkan dana untuk Israe. Pada Agustus 2007, kedua negara memperbarui memorandum of understanding (MoU) mengenai bantuan militer. Melalui MoU itu, Amerika Serikat bersedia untuk memberikan bantuan militer kepada Israel senilai USD 30 miliar dalam jangka waktu 10 tahun.
Juli 2014, senat AS menyetujui pemberian dana sejumlah 621,6 juta dolar AS untuk Israel termasuk 350 juta dolar AS untuk ‘Iron Dome‘.
Padahal tahun lalu, senat AS juga telah menyetujui 235 juta dolar AS untuk ‘Iron Dome‘. Dana ini di luar “setoran” rutin AS sebesar 3,1 miliar dolar per tahun bagi militer Israel.
Kecaman warga AS terhadap kebijakan negaranya bukan tidak ada. Di AS, suara kritis terhadap Israel menyalak, bukan hanya dari keturunan Arab, tapi juga non Arab yang muak pada eksploitasi nasib buruk Israel di masa pasca Perang Dunia Kedua, demi membenarkan serangan kejinya ke Palestina.
Salah seorang warga AS yang mengkritik Israel adalah aktor, sastrawan, sosiolog, dan pengarang buku terkenal “The Pursuit of Loneliness,” Philip Slater.
Dalam Huffington Post edisi 6 Januari 2009 yang dipublikasikan lagi Middle East Times pada 19 Januari, Philip menyampaikan opini berjudul, “A Message to Israel: Time to Stop Playing the Victim Role.”
Berkali-kali ribuan warga AS turun ke jalan memprotes kebijakan para pemimpinnnya. Ribuan umat Islam Amerika Serikat mengutuk aksi bombardir tentara Israel ke jalur Gaza yang telah menewaskan ribuang orang. Tapi Obama tetap bergeming.
Kekesalan warga Amerika bertambah ketika Obama mengucap selama Idul Fitri.“Kami berharap Muslim di AS dan seluruh dunia merayakan Idul Fitri dengan bahagia dan berkah,” tulis akun @WhiteHouse.
Pasalnya, pernyataan Obama ini disampaikan di saat 20 warga Palestina di Gaza tewas dibom di hari pertama Idul Fitri, sebanyak 10 di antara mereka adalah anak-anak.
Namun semua kecaman warganya sendiri diacuhkan Obama demi hubungannya dengan Israel. Amerika yang selama digadang-gadang menjadi negeri adidaya, tampak “tak berdaya” jika sudah berhadapan dengan Israel.
Lantas kenapa ini semua terjadi? Dalam bukunya “They Dare to Speak Out” yang diterbitkan pada 1985, mantan anggota Kongres, Paul Findley, mengungkapkan betapa kuatnya cengkeraman lobi Yahudi dan Israel di Amerika Serikat, terutama dalam masalah Timur Tengah, sehingga orang Amerika atau Barat yang berani mengkritik Israel dicap sebagai anti Yahudi dan pendukung Nazi.
Findley mengungkapkan, orang-orang kritis yang posisinya lemah telah diintimidasi dan disingkirkan, sementara yang lebih kuat diasingkan untuk kemudian dimiskinkan secara politik dan ekonomi, dideskreditkan oleh media massa, bahkan dilenyapkan sama sekali. Jika mereka saja disingkirkan, apalagi teriakan rintih bayi Palestina. [Pz/Islampos/infoduniamiliter )
Post Comment
Tidak ada komentar: