Berbagai pihak di Libya menggunakan media sosial untuk membeli senjata, atau menjual senjata yang sudah tak terpakai.
Studi terbaru menunjukkan bahwa perdagangan senjata ilegal di Libya dilakukan melalui media sosial, khususnya Facebook.Studi yang dilakukan selama 18 bulan itu menemukan penjualan berbagai senjata dari pistol hingga granat berpeluncur roket.
Kebanyakan ditawarkan di grup Facebook secara "tertutup" atau "rahasia".
Perdagangan gelap senjata melanggar persyaratan layanan Facebook, dan juru bicara Facebook mengatakan bahwa mereka menganjurkan pengguna untuk melaporkan hal seperti itu.
Laporan studi itu menggunakan data yang dikumpulkan oleh Armament Research Services (ARES) dari total 1.346 transaksi jual-beli. Peneliti yakin ini hanya sebagian kecil dari jumlah perdagangan di media sosial yang sebenarnya .
Laporan itu dirilis pada Kamis (07/04), namun BBC Newsnight menerima telah menerima salinannya terlebih dahulu.
Mendiang Moamar Khadafi ialah pembeli senjata yang obsesif dan mengendalikan pasar dengan ketat. Selama 40 tahun berkuasa, diperkirakan dia membelanjakan lebih dari US$30 miliar (sekitar Rp395 triliun) untuk senjata.
Contoh senjata yang dijual di Facebook.
Mereka menelusuri perdagangan senjata ringan di situs-situs media sosial termasuk Facebook, Instagram, WhatsApp, dan Telegram. Alhasil, volume penjualan terbesar ditemukan di Facebook.
Sebagian besar senjata yang dijualbelikan adalah pistol atau senapan. Jenis senapan paling populer ialah Kalashnikov, yang terjual seharga rata-rata 1800 dinar Libia (Rp17 juta).
"Meskipun kebanyakan barang yang dijualbelikan adalah senjata ringan tradisional pistol hingga senapan manual dan senapan mesin terdapat juga sistem persenjataan yang lebih signifikan, yang dapat memberi dampak di medan perang atau digunakan teroris," kata salah seorang peneliti Nic Jenzen-Jones dari ARES.
"Manpad adalah sistem anti-pesawat udara. Kami tak hanya menemukan sejumlah sistem yang komplet, tapi juga komponen individunya... Senjata ini tidak begitu ampuh melawan pesawat tempur modern, tapi ancaman besar terhadap pesawat sipil."
Peneliti menemukan sistem anti-pesawat udara dibanderol hingga 85.000 dinar Libya (sekitar Rp816 juta). Salah satu tawaran meliputi senapan anti-udara yang dilengkapi satu unit truk.
'Tertutup' dan 'Rahasia'
Kebanyakan perdagangan berpusat di kota-kota besar, terutama Tripoli, Benghazi, dan Sabratha.
Pembelinya adalah gabungan dari milisi yang membeli senjata untuk berperang, dan milisi yang hendak menyingkirkan senjata mereka karena sudah tak terpakai. Kebanyakan penjual berusia 20 atau 30-an, dan transaksi sering diselesaikan lewat pesan pribadi atau telepon.
Sebagian besar senjata diiklankan di dalam grup "tertutup" atau "rahasia" di Facebook dan karena itu hanya dapat dilihat oleh anggota grup tersebut. Jumlah anggota dalam satu grup bervariasi, dari 400 hingga hampir 1.400 anggota.
Beberapa grup punya nama yang jelas, seperti The Libians Firearms Market (Pasar Senjata Libia) yang kini telah ditutup, dan banyak grup yang masih aktif selama 18 bulan waktu studi hal ini mengisyaratkan, kata peneliti, bahwa grup seperti ini jarang dilaporkan ke pengelola situs.
Dalam pernyataan pers, juru bicara Facebook mengatakan, "Perdagangan senjata bertentangan dengan Standar Komunitas Facebook, dan kami menghapus konten seperti demikian sesegera mungkin setelah kami menyadari keberadaannya. Kami menganjurkan pengguna menggunakan tautan pelaporan sehingga tim kami dapat langsung bertindak."
Peneliti yakin kebanyakan transaksi senjata terjadi di dalam negeri. Meski demikian, badan polisi Eropa, Europol, mengkhawatirkan sejumlah senjata yang memasuki Eropa dari Libya.
(nwk/nwk/detik/kabarduniamiliter)
Post Comment
Tidak ada komentar: