Jumlah tentara Inggris yang mengalami gangguan mental bertambah tiga kali lipat. Hal ini disinyalir merupakan dampak jangka panjang perang yang dihadapi pasukan di Timur Tengah satu dekade belakangan.
Merujuk pada data yang dihimpun oleh Telegraph (20/1) dari Kementerian Pertahanan Inggris, pasukan bersenjata dengan gangguan mental meningkat dari 3.927 pada 2011 menjadi 5.076 pada 2013. Angka tersebut diperkirakan meningkat ketika rekapitulasi data tahun 2014 dilansir.
Seorang juru bicara dari Kementerian Pertahanan mengatakan bahwa salah satu alasan meningkatnya angka ini adalah tidak adanya kesadaran tentara untuk memerhatikan kesehatan mental dan mendiskusikannya dengan dokter. Sementara itu, para veteran menganggap sengitnya perang di Irak dan Afganistan juga merupakan alasannya.
Perbincangan ini merebak setelah Deputi Perdana Menteri Inggris, Nick Clegg, mengatakan bahwa ada "bias tak terungkap" yang lebih memprioritaskan penyakit fisik ketimbang perhatian terhadap kesehatan mental.
Setelah berbagai perdebatan mengemuka, mantan Kolonel perang yang berkampanye tentang kesehatan mental, Stuart Tootal, akhirnya menyatakan bahwa pelonjakan itu merupakan dampak dari pertempuran tentara Inggris di Timur Tengah.
"Anda tidak bisa mengabaikan fakta bahwa tentara baru saja menghabiskan 10 tahun dalam operasi intensif di Irak dan Afganistan," ujar prajurit yang memimpin tentara ke Provinsi Helmand pada 2006 ini, dikutip dari Telegraph (20/1).
Tak hanya diri tentara sendiri, menurut Tootal perang tersebut juga menekan keluarga. "Kalian memiliki tentara yang telah diekspos untuk operasi intens. Ada tekanan di keluarga mereka dan tekanan di dalam diri mereka sendiri selama tur panjang tersebut," kata Tootal.
Untuk itu, Tootal menganggap pemerintah perlu memberikan dukungan berkelanjutan bagi tentara dengan masalah mental dalam masa transisi dari bekerja ke pensiun.
"Kami telah melakukan perjalanan panjang. Ada kesadaran akan kesehatan mental dan lebih banyak kewaspadaan, tapi ada banyak hal lain yang bisa dilakukan. Kita harus ingat bahwa luka mental akibat perang sama dengan luka fisik," papar Tootal.
Menurut Kementerian Pertahanan Inggris, diperkirakan satu dari empat hingga satu dari lima tentara mengalami gangguan mental. Untuk menanggulangi masalah ini, juru bicara kementerian berkomitmen untuk menjamin semua tentara dengan dukungan yang mereka butuhkan.
"Layanan kesehatan mental kami telah melakukan konfigurasi dengan ketentuan Angkatan Bersenjarta, dan termasuk 16 Departemen Komunitas Kesehatan Mental di seluruh Inggris dengan tambahan cabang di seluruh pelosok," ujar juru bicara kementerian tersebut.
Di samping itu, Kementerian Pertahanan Inggris juga berencana menggencarkan beberapa kampanye.
"Sebagai tambahan, kami menjalankan kampanye seperti 'Jangan Menahan Emosi' agar memberanikan personel kami untuk berbicara. Ada kemungkinan bahwa setiap peningkatan pengungkapan personel disebabkan kombinasi dari beberapa faktor, termasuk pengurangan stigma," papar juru bicara tersebut.
Kementerian Pertahanan Inggris akan menggelontorkan dana sebesar 7,4 juta Euro atau setara dengan Rp106,3 miliar untuk menjamin adanya dukungan kesehatan mental bagi para tentara.
Sementara itu, personel tentara Inggris dikabarkan bakal dikurangi bertahap dari 102 ribu personel pada 2010 menjadi 82 ribu personel pada 2018, sementara pasokan senjata perang akan ditambah hingga 30 ribu unit. Dari keputusan ini, pemerintah Inggris berharap dapat menghemat hingga 10,6 triliun Euro, atau sekitar Rp152 ribu triliun.
(ama/ama/CNN/IDM)
Post Comment
Tidak ada komentar: