Peperangan-peperangan dan pelajaran keras (kaitannya dengan pengendalian politik dalam negeri) yang diberikan Rasulullah saw. setelah perang Uhud memiliki pengaruh besar dalam memperkokoh kewibawaan kaum muslimin, mengosentrasikan Negara Islam, memperluas pengaruh kaum muslimin, mengagungkan kekuasaan umat, dan menjadikan Semenanjung Arab takut kepada Islam. Maka, jadilah bangsa Arab ketika mendengar kaum muslim dengan atas nama Rasul hendak menyerang mereka dan menjadikan mereka takut, maka mereka spontan berpaling dan lari mengundurkan diri sebagaimana yang terjadi pada Bani Ghathfan dan peristiwa Daumah al-Jandal.
Demikian ini menjadikan kafir Quraisy bersikap pengecut dan takut menghadapi kaum muslimin sebagaimana terjadi di perang Badar akhir. Semua ini menjadikan kaum muslimin condong untuk menciptakan kehidupan di Madinah lebih tenang dan stabil, membentuk sistem kehidupan mereka di atas cahaya aturan baru yang menjadikan kaum Muhajirin memiliki banyak harta ghanimah Bani Nadhir dan membagi-bagikan tanah, kebun kurma, rumah-rumah, dan berbagai perkakas kepada mereka. Meski demikian, hal ini tidak menjadikan mereka condong pada kehidupan dunia dengan kecondongan yang memalingkan mereka dari kontinuitas berjihad. Jihad wajib ditegakkan hingga hari kiamat. Keadaan kehidupan mereka menjadi lebih baik, kokoh, dan aman daripada sebelumnya. Rasulullah meski berada dalam ketenangan dan kestabilan, tetap terus waspada terhadap tipudaya musuh, terus-menerus menyebarkan mata-mata dan para intelnya di seluruh penjuru Semenanjung Arab. Para spionase ini akhirnya berhasil mengirimkan berita-berita kepada Nabi tentang bangsa Arab dan hasil-hasil muktamar mereka tentang penyusunan rencana menyerang kaum muslimin. Demikian itu didasarkan atas pengetahuan garis-garis kebijakannya, uslub-uslubnya, dan kesiapan menghadapinya. Apalagi musuh-musuh kaum muslimin menjadi banyak dan tersebar di Jazirah Arab, lebih-lebih setelah Nabi saw. memiliki kekuasaan dan hasil rampasan dari suku-suku Arab, setelah mengusir Yahudi bani Qainuqa' dan bani Nadhir dari Madinah, dan setelah memukul kabilah-kabilah Arab, seperti bani Ghathfan, Hudzail, dan yang lainnya dengan pukulan-pukulan yang mematikan.
Karena itu, Nabi saw. terus waspada mengikuti berita-berita bangsa Arab hingga menerima kabar tentang kafir Quraisy dan sebagian kabilah yang berkumpul untuk menyerang Madinah. Rasulullah saw. segera menyiapkan pasukan untuk menyongsong mereka. Demikian itu karena bani Nadhir setelah diusir Nabi saw. dari Madinah, jiwa mereka menyimpan pikiran busuk untuk menghimpun suku-suku Arab yang benci Rasul lalu diajak menuntut balas dendam kepadanya. Sejarah Perang Ahzab
Untuk melaksanakan rencana ini, beberapa orang dari bani Nadhir keluar dari pengungsiannya dan menemui suku-suku yang hendak diajak bergabung dengan rencananya. Di antara mereka adalah Huyyi bin Akhthab, Salam bin Abi al-Haqiq, dan Kinanah bin Abi al-Haqiq. Ikut bergabung pula beberapa orang dari bani Wail Hudzah bin Qayis dan Abu 'Ammar. Kemudian mereka berangkat menemui kafir Quraisy Makkah. Penduduk Makkah bertanya kepada Huyyi tentang kaumnya. Dia menjawab,"Saya meninggalkan mereka di antara Khaibar dan Madinah. Mereka mondar-mandir di wilayah itu hingga kalian datang menemui mereka, lalu kalian berangkat bersama mereka untuk menghancurkan Muhammad dan kawan-kawannya." Mereka kemudian ganti bertanya tentang bani Quraizhah, lalu dijawab, "Mereka masih tinggal di Madinah dengan membuat makar menyerang Muhammad hingga kalian mendatangi mereka, lalu mereka condong dan bergabung dengan kalian."
Orang-orang Quraisy ragu-ragu antara apakah harus menerima kemudian maju menyerang ataukah menolak. Antara mereka dan Muhammad sebenarnya tidak ada perselisihan kecuali menyangkut dakwah yang menyerukan kepada Allah. Apakah tidak mungkin menjadikannya di atas kebenaran? Karena itu, kafir Quraisy perlu bertanya lebih dulu kepada Yahudi.
"Hai orang-orang Yahudi," sapa mereka, "kalian adalah Ahlu Kitab yang pertama dan mengetahui tentang apa yang membuat kami berselisih, antara kami dan Muhammad. Apakah agama kami ataukah agamanya yang lebih baik?"
"Bahkan agama kalian lebih baik daripada agamanya," jawab Yahudi berbohong, "dan kalian lebih berhak atas kebenaran itu."
Padahal Yahudi laknatullah yang beragama tauhid ini sebenarnya mengetahui bahwa agama Muhammad adalah benar. Akan tetapi, karena mereka didorong oleh ambisi dan rasa dendam, maka mereka harus menghimpun bangsa Arab dan memposisikan mereka dalam keadaan sulit dan kesalahan yang keji. Ini adalah aib yang abadi. Mereka meneriakkan kebohongan dengan mengatakan bahwa para penyembah berhala lebih utama daripada para penyembah beragama tauhid. Mereka tetap melakukannya dan terus melakukanny. Puas berhasil meyakinkan kafir Quraisy dengan pendapat mereka, kaum Yahudi ini pergi ke Ghathfan dari kabilah Qis 'Ailan, ke Bani Murrah, Bani Fuzarah, Bani Asyja', Bani Salim, Bani Sa'ad, Bani Asad, dan kepada siapa saja yang punya dendam terhadap kaum muslimin. Mereka secara bersama-sama terus-menerus mendorong kabilah-kabilah yang dipengaruhi untuk membalas dendam terhadap kaum muslimin dan mengingatkan pula kepada mereka keikutsertaan kafir Quraisy dalam memberi dukungan terhadap pembalasan dendam mereka dengan memerangi Muhammad. Yahudi penghasud ini juga memuji-muji dan menyanjung-nyanjung mereka setinggi langit serta menjanjikan kemenangan terhadap mereka. Sejarah Perang Ahzab
Seperti demikianlah yang mereka lakukan sehingga akhirnya mereka berhasil menghimpun suku-suku Arab untuk memerangi Rasulullah. Kabilah-kabilah Arab kemudian berkumpul dan keluar bersama-sama kafir Quraisy untuk meluruk Madinah.
Kaum Quraisy keluar di bawah pimpinan Abu Sufyan dengan 4000 tentara, 300 pasukan kavaleri, dan 1500 pasukan penunggang unta. Bani Ghathfan keluar di bawah pimpinan 'Uyayyinah ibnu Hashan bin Hudzaifah dalam rombongan yang terdiri dari banyak kaum pria bersenjata lengkap dan seribu pasukan unta. Asyja' keluar dengan 400 jago perang di bawah pimpinan Mas'ar bin Rakhilah. Bani Murrah keluar juga dengan 400 ahli perang di bawah kendali al-Harits bin 'Auf. Salim dan para penguasa Bi'ru Ma'unah datang dengan membawa 700 laki-laki. Mereka berkumpul dan kemudian bani Sa'ad dan bani Asad bergabung dengan mereka, maka jadilah jumlah keseluruhannya 10.000 pasukan. Semuanya bergerak menuju Madinah di bawah komando Abu Sufyan.
Ketika berita keberangkatan pasukan gabungan musuh yang sangat besar ini sampai kepada Rasul, beliau segera mengambil keputusan membentengi Madinah. Salman al-Farisi diberi isyarat untuk membuat benteng parit di seputar Madinah dan di dalamnya dijadikan tempat perlindungan. Salman (dibantu para sahabat lainnya) segera mulai membuat galian parit. Nabi saw. juga ikut bekerja dengan tangannya yang mulia. Beliau mengangkut pasir sambil memberi semangat kaum muslimin dan mengajak mereka agar melipatgandakan perjuangan. Pembuatan parit akhirnya rampung dalam enam hari. Tembok-tembok rumah yang menghadap arah kedatangan musuh dijaga. Rumah-rumah hunian yang berada di belakang parit dikosongkan. Kaum wanita dan anak-anak dibawa dan dikumpulkan dalam rumah-rumah yang dijaga. Rasulullah saw. kemudian keluar bersama 3000 pasukan. Beliau menjadikan punggung anak bukit sebagai tempat perlindungan, sementara parit dijadikan batas pemisah antara pasukannya dan pasukan musuh. Di arah lain sebagian pasukannya memancangkan kemah-kemahnya. Kemah-kemah berdiri tegak dengan warna merah menyala.
Tidak berapa lama pasukan kafir Quraisy dan beberapa kesatuan pasukan gabungan hampir tiba. Mereka sangat berharap segera bertemu dan melumat Muhammad. Di bukit Uhud, mereka tidak menjumpai Muhammad. Pasukan musuh terus bergerak ke arah Madinah, dan tiba-tiba mereka dikejutkan oleh parit-parit yang melingkar menghadang. Mereka bingung karena belum pernah mengenal jenis pertahanan model demikian. Mereka berhenti sejenak. Kemudian pasukan Quraisy dan pasukan gabungan memasang kemah-kemah di luar Madinah di belakang parit. Abu Sufyan dan para pasukannya yakin bahwa mereka akan tinggal lama di depan parit tanpa bisa melakukan apa-apa, termasuk mencebur ke parit. Pada waktu itu cuaca sangat dingin di tengah angin badai yang terus-menrus menerpa gurun. Dinginnya membeku. Maka, kelemahan lambat-laun merayapi mereka (musuh). Banyak di antara mereka yang mengutamakan pulang dan balik melalui jalur semula.
Huyyi bin Akhthab, tokoh Yahudi yang memprakarsai perang Ahzab, selalu memperhatikan perkembangan pasukan gabungan yang direkasanya. Matanya yang licik berputar-putar mencari akal. Otaknya penuh tipu muslihat keji. Dia segera mendekati mereka dan mengajak bicara. Di hadapan mereka, dia berjanji akan dapat meyakinkan Bani Quraizhah (satu-satunya suku Yahudi yang masih tinggal di Madinah) agar merusak perjanjian damai yang telah dibentuknya dengan Muhammad dan pasukannya, kemudian diajak bergabung dengan pasukan gabungan kafir Quraisy. Jika Quraizhah mau melakukannya, maka bantuan kaum muslimin terputus dan jalan memasuki Madinah terbuka lebar.
Kafir Quraisy dan Bani Ghathfan senang mendengar rencana itu. Maka, Huyyi pun cepat-cepat pergi menemui Ka'ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah. Setelah memahami apa yang direncanakan Huyyi, Ka'ab segera menutup pintu bentengnya dan Huyyi dibawa masuk ke dalam, kemudian pintu dibuka kembali agar Huyyi segera keluar dan kembali ke pasukannya.
"Celakalah kau, hai Ka'ab!" kata Huyyi marah. "Aku datang kepadamu dengan kemenangan abadi dan lautan kekayaan yang melimpah." Matanya merah mendelik sebelum akhirnya melanjutkan hasutannya, "Aku datang kepadamu dengan kaum Quraisy di atas komando dan kepimimpinannya. Aku datang kepadamu dengan Bani Ghathfan di atas komando dan kepemimpinannya. Mereka berjanji dan mengikat kata sepakat kepadaku untuk tidak meninggalkan medan perang hingga mereka berhasil mencabut Muhammad dan orang-orangnya dari akar-akarnya."
Ka'ab bimbang. Otak yahudinya berputar. Dia coba mengingat kejujuran dan konsekwensi Muhammad dalam memenuhi janji. Tiba-tiba hatinya takut akan akibat ajakan Huyyi. Akan tetapi, Huyyi tidak putus asa. Dia terus-menerus mengingatkan peristiwa-peristiwa yang pernah menimpa kaum Yahudi akibat ulah Muhammad. Dia mencoba membangkitkan rasa optimis Ka'ab dengan menggambarkan betapa kuatnya pasukan gabungan kafir Quraisy. Huyyi terus menggirng dan menghasut sehingga akhirnya Ka'ab luluh, melunak, dan menerima apa yang diminta Huyyi. Dengan demikian, Ka'ab telah merusak perjanjiannya dengan Muhammad dan kaum muslimin. Ka'ab kemudian mengajak sukunya (Bani Quraizhah) bergabung dengan pasukan gabungan tanpa memberitahukan lebih dulu kepada Muhammad.
Kabar ini pun akhirnya sampai kepada Rasul dan kaum muslimin. Mereka goncang dan takut akan tipudayanya. Rasulullah segera mengambil tindakan tegas. Dia mengutus Sa'ad bin Mu'adz, pemimpin bani Aus dan Sa'ad bin 'Ubadah, pemimpin bani Khajraj. Kedua tokoh ini ditemani 'Abdullah bin Ruwahah dan Khawat bin Jabir untuk mencari kejelasan berita pengkhianatan Bani Quraizhah. Beliau berpesan kepada mereka jika benar Bani Quraizhah merusak perjanjiannya, hendaknya mereka menyimpannya sehingga kejadian itu tidak sempat memecah-belah masyarakat. Mereka cukup memberitahukannya dengan isyarat. Ketika para utusan ini datang, mereka berusaha menjinakkan Bani Quraizhah dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perbuatan paling kotor. Ketika mereka berusaha mengembalikan Bani Quraizhah pada perjanjian semula, Ka'ab justru menuntut mereka agar mengembalikan kawan-kawan mereka Bani Nadhir ke rumah mereka. Sementara Sa'ad bin Mu'adz, dia adalah sekutu Bani Quraizhah, berusaha meyakinkannya. Maka, jadilah mereka akhirnya mempertanyakan keberadaan Muhammad dan menyerangnya.
"Siapakah Rasulullah? Tidak ada perjanjian dan ikatan antara kami dan Muhammad!" tegas Ka'ab.
Para utusan ini kembali dan mengabarkan kepada Rasul mengenai apa yang mereka lihat. Kekhawatiran di kalangan kaum muslimin meningkat. Sementara pasukan gabungan musuh semakin siap untuk berperang. Adapun Bani Quraizhah minta tangguh pada pasukan gabungan selama sepuluh hari untuk menyiapkan pasukan guna menyerang kaum muslimin bersama-sama pasukan gabungan. Mereka menghimpun tiga kesatuan pasukan tempur. Kesatuan pertama yang di bawah pimpinan Ibnu al-A'war al-Sulamiy datang dari atas tebing lembah. Kesatuan tempur kedua di bawah pimpinan 'Uyayyinah bin Hashan menyerang dari sisi samping. Sementara Abu Sufyan memperkuat dua kesatuan itu dengan menyerang dari depan parit. Menyaksikan semua ini, kaum muslimin terkejut. Keterkejutannya memuncak. Pandangan mata mereka kabur. Debar hati mereka bergemuruh hingga sampai ke pangkal tenggorokan. Sementara di pihak lain, dukungan terhadap pasukan gabungan semakin kuat. Kekuatan mereka tampak sangat kuat. Jiwa mereka terangkat penuh optimis. Dan tidak lama kemudian, mereka segera menghambur dan mencebur ke dalam parit. Sebagian jago penunggang kuda kafir Quraisy terpacu untuk segera menyerang. Di antara mereka terdapat 'Amru bin 'Abdu Wud, 'Ikrimah bin Abu Jahal, dan Dharar bin al-Khaththab. Mata mereka memandang tajam ke barisan pasukan Islam. Mereka melihat sebuah celah yang mungkin bisa dipakai untuk melintas dan membedah pertahanan kaum muslimin. Mereka pun menggebrak kuda-kuda mereka agar melintasi celah itu. Kuda-kuda itu berkeliling di antara lorong-lorong dan parit. 'Ali bin Abi Thalib ra. yang melihatnya segera keluar dari barisan kaum muslimin. Mereka memang mengambil celah yang dijadikan tempat untuk menerjunkan kuda-kuda mereka. Kemudian 'Amru bin 'Abdu Wud maju seraya berteriak-teriak menantang duel. Ketika 'Ali bin Abi Thalib menyambut ajakan duelnya dan turun ke gelanggang, 'Amru bin 'Abdu Wud tertawa mengejek.
"Wahai Putra saudaraku, mengapa harus kamu yang turun?! Demi Allah, aku tidak ingin membunuhmu!" bual Ibnu 'Abdu Wud.
"Tetapi, demi Allah, aku sangat suka membunuhmu," tukas 'Ali keras.
Keduanya pun menghunus pedang dan bertarung, dan 'Ali berhasil membunuhnya. Akibatnya kuda-kuda pasukan Ahzab lari terpukul hingga mencebur parit kemudian mundur ke induk pasukan. Akan tetapi, demikian itu tidak melemahkan jiwa pasukan Ahzab, bahkan api semangat penyerangannya semakin berkobar hingga sampai menggiriskan kaum muslimin. Pasukan bantuan dari Bani Quraizhah mulai marah. Mereka keluar dari benteng-benteng mereka dan turun ke pemukiman-pemukiman Madinah di daerah yang dekat dengan mereka. Mereka hendak mengancam penduduk Madinah. Akibatnya, suasana yang mencekam di tengah kaum muslimin memuncak, ketakutan membesar, dan keterkejutan hampir merata. Sementara Rasul justru semakin percaya dengan pertolongan Allah. Sejurus kemudian, Nu'aim bin Mas'ud, seorang Yahudi Bani Quraizhah yang baru masuk Islam, datang kepada Rasul. Dia menawarkan usul kepada Rasul untuk melemahkan semangat kaum kafir.
Nu'aim berangkat dengan perkara Rasul menemui Bani Quraizhah. Mereka belum tahu bahwa Nu'aim sebenarnya sudah memeluk Islam. Mereka hanya mengenal bahwa Nu'aim adalah teman lama mereka dalam kejahilian. Nu'aim mengingatkan mereka tentang hubungan kasih sayang yang sudah lama terjalin di antara dirinya dan mereka. Kemudian dia juga mengingatkan mereka mengapa harus membantu kafir Quraisy dan Ghathfan untuk menyerang Muhammad. Sangat mungkin sekali dua kelompok pasukan itu (Quraisy dan Ghathfan) tidak akan lama menduduki posisinya dan mereka akan segera pergi pulang. Mereka hanya mengkhayalkan bencana menimpa Muhammad. Padahal mereka (dua kelompok pasukan itu) justru hanya mengkhayalkan bencana yang akan menimpa mereka. Nu'aim juga menasihatkan agar mereka tidak ikut memerangi Muhammad bersama kaum Quraisy hingga mereka memperoleh jaminan dari mereka dengan apa-apa yang berada di tangan mereka dan hingga kaum Quraisy dan Ghathfan tidak tersingkir dari mereka. Bani Quraizhah akhirnya puas dan yakin tentang apa yang dikatakan oleh Nu'aim.
Kemudian Nu'aim pergi ke kaum Quraisy. Dia memberitahukan kepada mereka secara rahasia bahwa Bani Quraizhah menyesali perbuatan mereka yang melanggar janji Muhammad. Mereka melakukan demikian untuk mencari keridaan dan memperoleh cintanya dengan mendahulukan atau mengutamakan tokoh-tokoh Quraisy yang akan memenggal leher mereka. Karena itu, dia menasihati mereka bahwa orang-orang Yahudi diutus kepada mereka untuk mencari jaminan dari kaum laki-laki mereka supaya tidak mengutus seorangpun dari kalangan mereka. Nu'aim juga melancarkan serangan politik demikian kepada Ghathfan sebagaimana yang telah dilakukannya kepada kaum Quraisy. Keraguan merayap dalam jiwa orang-orang Arab dan Yahudi. Abu Sufyan mengirim surat kepada Ka'ab dan mengabarkan: "Sudah lama pendudukan dan pengepungan kami pada laki-laki ini (Muhammad). Saya lihat kalian bersandar kepadanya di waktu besok, sementara kami berada di belakang kalian." Ka'ab menjawab, "Besok hari Sabtu dan kami tidak dapat berperang dan melakukan pekerjaan di hari Sabtu."
Abu Sufyan marah. Dia membenarkan cerita Nu'aim. Kemudian dia meminta kembali utusan itu untuk menemui Quraizhah dan mengatakan kepada mereka, "Jadikanlah hari Sabtu [besok] menempati tempat hari Sabtu ini. Besok harus memerangi Muhammad. Jika kami keluar untuk memerangi Muhammad dan kalian tidak bersama kami, maka kami lepas dari persekutuan kalian dan kami pasti memulai peperangan terhadap kalian sebelum menghadapi Muhammad."
Mendengar ucapan Abu Sufyan semacam ini, Quraizhah kembali menegaskan tekadnya bahwa mereka tidak bisa melanggar hari Sabtu. Kemudian mereka memberi isyarat tentang pemberian jaminan sehingga mereka bisa tenang akan kepastian tempat kembali mereka (akibat akhir). Abu Sufyan mendengar jawaban demikian, di hadapannya tidak satupun keraguan yang tersisa dalam cerita Nu'aim. Malamnya dia berpikir apa yang harus dilakukan. Abu Sufyan akhirnya memutuskan harus berbicara pada Ghathfan. Tiba-tiba dia mendapatkan bahwa Ghathfan juga ragu-ragu untuk maju memerangi Muhammad. Pada tengah malam, tiba-tiba Allah mengirimi mereka angin topan bercampur gelegar petir dan hujan yang sangat lebat. Kemah-kemah mereka menjadi tercabut dari pancang-pancangnya. Periuk-periuk dan perkakas dapur mereka berbalik tumpang tindih. Ketakutan merasuki jiwa mereka. Di pikiran mereka terbayang bahwa kaum muslimin pasti segera mengambil kesempatan ini untuk menyeberangi parit lalu menyerang mereka. Thalihah berdiri dan berteriak lantang, "Muhammad telah memulai menyerang kalian dengan keburukan! Karena itu, selamatkan! Selamatkan!" Abu Sufyan juga tidak mau diam. Dia segera memberi komando pasukannya, "Hai orang-orang Quraisy, kembalilah! Sesungguhnya aku juga kembali." Kaum Quraisy merasa ringan (tidak perlu bertanggung jawab atas kesatuan pasukannya) atas beban yang harus dipikul dan mereka pun segera lari. Kemudian Ghathfan dan pasukan Ahzab ikut menyusul pulang. Paginya tidak satupun dari mereka yang tersisa. Ketika Rasul melihat demikian, beliau dan kaum muslimin segera kembali ke perkampungan Madinah. Allah telah memenuhi janji-Nya dengan memenangkan kaum mukminin.
Hanya saja, setelah Rasul mendapatkan kelapangan (keluasan atau ketenangan) dari ancaman serangan kafir Quraisy dan Allah telah memenangkan perangnya, beliau melihat bahwa beliau harus menghentikan persoalan Bani Quraizhah. Mereka telah merusak perjanjian yang mereka bentuk dengan Rasul dan ikut terlibat dalam memerintahkan menghukum kaum muslimin. Karena itu, beliau memerintahkan salah seorang sahabat untuk mengumandangkan sabda Rasul kepada manusia: "Barangsiapa mendengar dan taat, maka mereka tidak salat asar kecuali dengan Bani Quraizhah." Dengan benderanya, 'Ali bin Abi Thalib ra. segera berangkat perang menghadapi Bani Quraizhah. Kaum yang berangkat di belakang 'Ali merasa ringan dalam keadaan riang gembira. Mereka terus bergerak hingga mendatangi Bani Quraizhah dan mengepung mereka dengan ketat selama 25 malam berturut-turut (terus-menerus). Maka mereka mengutus utusan kepada Rasul, lalu berunding dengan beliau, kemudian mendelegasikan perintah kepada Sa'ad bin Mu'adz untuk menghukum musuh, lalu Mu'adz menghukumi mereka dengan perintah membunuh musuh yang memerangi, membagi harta benda mereka, dan menawan anak-cucu dan wanita-wanita mereka. Lalu hukuman dilaksanakan, menghukum kabilah, dan Madinah menjadi kota yang suci dan bersih dari kabilah-kabilah tersebut.
Dengan kehancuran tentara Ahzab (gabungan), maka upaya perlawanan akhir yang dilakukan kafir Quraisy untuk menghadapi dan memerangi Rasul berakhir. Dengan menghukum Bani Quraizhah, maka beliau berhasil menghabisi (qadha') tiga kabilah Yahudi yang bercokol di sekitar Madinah dan mereka telah mengikat perjanjian dengan Nabi lalu merusaknya. Dengan demikian, persoalan Rasul dan kaum muslimin di Madinah dan sekitarnya menjadi stabil. Hal itu menjadikan bangsa Arab takut dan segan kepada mereka. (dari Kitab Daulah Islam, karya Syeikh Taqiyuddin Annabhani rahimahullah)
Post Comment
Tidak ada komentar: