Banyak pekerja migran yang ditinggalkan oleh kapten kapal mereka setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan moratorium tentang penangkapan ikan asing lima bulan lalu.
Jumlah nelayan asing yang terdampar di sejumlah pulau terpencil di wilayah timur Indonesia telah bertambah menjadi empat ribu orang, termasuk mereka – yang menurut penyelidikan kantor berita Associated Press – telah dijadikan budak.
Menurut data Organisasi Migran Internasional (IOM) yang dikeluarkan Jumat (27/3), banyak pekerja migran yang ditinggalkan oleh kapten kapal mereka setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan moratorium tentang penangkapan ikan asing lima bulan lalu. Namun sejumlah nelayan lain telah terdampar di pulau-pulau itu selama beberapa tahun setelah ditinggalkan oleh kapal-kapal nelayan mereka atau melarikan diri ke hutan.
Seorang bekas budak mengatakan kepada Associated Press – tanpa menyebut identitasnya demi alasan keamanan – “ini adalah saat terburuk dalam kehidupan kami sekarang. Ini bahkan lebih buruk dibanding neraka. Kami harus bekerja setiap hari supaya bisa bertahan hidup. Tidak ada lagi harapan bagi kami."
Awal pekan ini Associated Press melaporkan bahwa budak-budak, yang beberapa diantaranya dipukuli dan dikunci dalam kurungan,dipaksa menangkap ikan dan tangkapan itu berakhir di rantai pasokan restoran dan pasar swalayan Amerika.
IOM mengatakan laporan itu disampaikan setelah bekerjasama erat dengan pihak berwenang Indonesia untuk menyelamatkan ratusan nelayan yang diidentifikasi sebagai korban perdagangan manusia.
Banyak diantara mereka yang terdampar itu berasal dari Myanmar, yang sebelumnya pergi ke Thailand untuk mencari pekerjaan. Mereka kemudian dibawa dengan kapal ke Indonesia, yang memiliki beberapa tempat penangkapan ikan terkaya di dunia. Sebagian lainnya yang ditinggalkan di pulau-pulau terpencil itu adalah warga Kamboja dan sebagian kecil dari beberapa daerah miskin di Thailand.
Wakil Ketua Misi IOM di Indonesia, Steve Hamilton, mengatakan setelah berhasil menyelamatkan seorang nelayan, banyak lainnya membutuhkan pertolongan. Dengan larangan memancing, kapal-kapal terpaksa berlabuh atau melarikan diri dan meninggalkan awak mereka di pulau-pulau tersebuh.
“Cukup beralasan jika banyak diantara mereka menjadi korban perdagangan manusia atau secara tidak langsung menjadi korban perbudakan," ujar Hamilton.
"Tetapi untuk pertama kali dalam beberapa tahun ini, mereka berada di darat dan ada hal yang memungkinkan mereka bisa kembali ke tanah air begitu kami dan pihak berwenang mengetahui lokasi mereka dan memproses pembebasannya."
Moratorium
Sekitar seperempat dari laki-laki itu kini berada di Benjina, sebuah kota yang berada di jajaran dua pulau di rantai kepulauan Maluku, menurut seorang pejabat Indonesia yang baru-baru ini mengunjungi daerah itu. Diantara laki-laki tersebut ada yang sudah ditinggalkan di Benjina sejak lima, 10 atau bahkan 20 tahun lalu, dan melakukan bongkar-muat ikan dari perahu atau memotong dan menjual kayu di hutan untuk memperoleh uang makan.
Ketika Associated Press datang dan menanyai mereka untuk menceritakan kisah kehidupannya, hanya sedikit yang bersedia karena mereka ketakutan. Kemudian datang beberapa orang lainnya hingga mencapai sekitar 30 orang. Satu demi satu menyampaikan rasa putus asa karena sangat ingin bisa pulang, dengan mengatakan mereka yakin keluarga mengira mereka sudah mati.
“Tubuh kami disini tapi pikiran kami di rumah” ujar salah seorang diantaranya,
“Jika saja bisa kembali ke rumah dengan berjalan kaki/ kami sudah melakukannya sekarang," tambah seorang lagi.
Yang lainnya mengusap air mata ketika berbicara. “Hidup kami tidak lebih bernilai dari seekor anjing," kata seorang lainnya dengan suara parau. Ditambahkannya bahwa tidak ada yang peduli jika mereka hidup atau mati.
Moratorium penangkapan ikan diberlakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menentukan kapal-kapal mana yang memiliki izin resmi dan mana yang tidak sehingga bisa dilacak.
Perburuan ikan secara ilegal mengeruk milyaran dolar dari Indonesia dan hari Jumat, Susi mengatakan akan menangani isu penganiayaan tenaga kerja yang diketahuinya. Ia mengatakan sangat terkejut mengetahui adanya nelayan yang dijadikan budak di Indonesia.
“Kami tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Di masa lalu ini dinilai normal. Tapi saya tidak akan memperbolehkannya," ujarnya.
Pemerintah Indonesia telah berjanji akan mengambil langkah-langkah hukum guna menangani apa yang terjadi di Benjina dan pulau-pulau lain.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha juga mengakui berita yang disampaikan Associated Press dan mengatakan pemerintahnya kini meningkatkan upaya untuk menyeret mereka yang bertanggung jawab ke muka hukum.
“Jika mereka masih melanjutkan eksploitasi sesama manusia, mereka seharusnya tidak diberi izin untuk berbisnis di Thailand dan menerima hukuman yang layak," ujar Chan-ocha dalam sebuah pernyataan tertulis menanggapi pertanyaan yang disampaikan surat kabar the Bangkok Post.
Namun awal pekan ini Chan-ocha mendesak wartawan untuk tidak melaporkan kasus perdagangan manusia tanpa mempertimbangkan bagaimana dampak berita itu pada industri makanan laut dan reputasi negara bersangkutan di luar negeri.
Departemen Luar Negeri Amerika tahun lalu menempatkan Thailand dalam “daftar hitam” upaya menangani pelanggaran tenaga kerja, menempatkan Thailand sejajar dengan Korea Utara dan Iran. Pemerintah Thailand mengatakan sedang menyelesaikan masalah itu dan telah merumuskan rencana – termasuk undang-undang baru tentang upah, izin sakit dan shift atau giliran kerja yang tidak boleh lebih dari 14 jam.
Beberapa anggota parlemen Thailand pekan lalu memutuskan secara bulat untuk menerapkan penalti yang lebih keras bagi mereka yang melanggar UU anti-perdagangan manusia, termasuk hukuman mati.
Pebisnis utama dalam industri eceran dan makanan laut Amerika pekan ini telah mengirim surat kepada duta besar Thailand dan Indonesia, menuntut informasi apa yang akan dilakukan untuk membebaskan para budak dalam industri makanan laut tersebut.
Wakil Direktur Human Rights Watch Divisi Asia Phil Robertson juga mendesak pemerintah Thailand untuk mengakhiri penderitaan para budak itu.
“Pemerintah Thailand telah berulangkali menyampaikan komitmen secara lisan akan bersikap keras terhadap para pelaku, tetapi setiap kami tindaklanjuti terbukti tidak ada kemajuan” ujar Robertson melalui email.
“Pertanyaannya kini adlaah apakah informasi yang diungkapkan Associated Press akhirnya bisa mendorong Thailand mengambil tindakan yang seharusnya sudah diambil sejak lama terhadap kapal-kapal penangkap ikan yang secara sistematis menggunakan budak untuk menangkap makanan laut yang berakhir di dapur-dapur Amerika." (Voa/infoduniamiliter.Com)
Post Comment
Tidak ada komentar: